Resensi Buku Ngarto Februana
Pengarang : Ngarto Februana
Judul : Menolak Panggilan Pulang
Tahun terbit : 2000
Isi : (xviii + 207 halaman
Penerbit : Media Pressindo,
Cetakan : pertama, Juli 2000
Judul : Menolak Panggilan Pulang
Tahun terbit : 2000
Isi : (xviii + 207 halaman
Penerbit : Media Pressindo,
Cetakan : pertama, Juli 2000
Keunggulan :
1. memberi nilai lebih Positif terhadap suatu kebudayaan.
2. Tampak Jelas Penguasaan tentang rimba yang di tulis oleh penulis
3. Menampilkan konlik-konflik yang sangat dramatis
Kekurangan :
1. Pemakaian bahasa yang tidak dapat di mengerti
2. Proses budaya dalam diri yang agak tidak di bahas oleh penulis
Sinopsis :
1. Pemakaian bahasa yang tidak dapat di mengerti
2. Proses budaya dalam diri yang agak tidak di bahas oleh penulis
Sinopsis :
Novel
ini bercerita tentang kisah manusia di Loksado, suatu wilayah yang dihuni oleh
suku Dayak Meratus (ini meminjam istilah Anna Tsing). Letak arkaisnya
masyarakat yang menghuni digambarkan dengan daerah pedalaman yang kurang
bersentuhan dengan budaya luar, penduduknya masih memeluk autocthonous
religion, kepercayaan setempat, yang manifestasinya adalah penghormatan kepada
roh-roh.NOVEL dibuka dengan pemaparan mengenai sakitnya Utay, calon pengganti
kepala suku, dan tatkala berhasil disembuhkan oleh penghulu toh penghulu tetap
berduka. “Malapetaka akan datang, As,” seru sang penghulu kepada Asui, salah
seorang penghuni balai (hal 10).
Lalu
datanglah masa ketika Utay menerobos halangan kultural karena dialah
satu-satunya anak suku bukit-begitu orang luar menyebut mereka- yang bersekolah
sampai SMA (sekolah menengah atas). Dan dialah satu-satunya anak suku bukit
yang bersekolah hingga setinggi itu; di kota lagi. Bagaimana sang ayah tidak
bangga melihat calon penggantinya pintar di atas rata-rata, ditambah lagi
pandangan masyarakatnya yang melihatnya bagai seorang titisan dewa (hal 65).
Namun,
di sinilah justru masalahnya timbul. Utay mengalami cultural shock, guncangan
budaya. Ia yang semula hidup di balai yang tidak mengenal pemisahan ruangan
bagi keluarga-keluarga, kini menempati privacy-nya dengan kamar yang dihuninya
sendiri,
Budaya luar yang diperoleh di kota membekali Utay untuk menafsirkan pandangannya maupun mengekspresikan naluri alamiah kemudaannya yang semakin menggelora, lepas dari kungkungan hukum adat dan moral religius tempat dari mana ia berasal. Ia mulai diganggu oleh dorongan dari dalam, berdekatan, berciuman, meremas-remas buah dada.
Demikian
pula sewaktu ia diajari ayahnya mantra-mantra penolak bala sebagai persiapan
menjadi kepala suku, Utay sering berkata, “Emm, maaf, ulun (saya) lupa,”
kalimat yang menandakan rasa tidak respek.
Pamali
dan tabu pun dilanggarnya. Ia bawa budaya kota dengan memperlakukan Aruni
(protagonis kedua), bunga desa dan dewi cahaya bagi masyarakatnya, calon
pendampingnya kelak saat menduduki kepala suku, ke dalam asyik-masyuknya gairah
dan hasrat seksual, dari berciuman hingga lanjutannya, di sela-sela pepohonan,
di antara gemericiknya Sungai Amandit, wilayah bersemayamnya para dewa yang
siap menjatuhkan kutukan.
Selanjutnya
melalui sosok Utay dan Aruni, Ngarto melanjutkan jalinan dan perbenturan antara
budaya luar dan budaya suku bukit tersebut. Di satu pihak Utay
merepresentasikan budaya kota, dan akhirnya menjadi pegawai perusahaan
perkayuan, dus wakil bagi kepentingan perusahaan HTI (hutan tanaman industri)
yang siap merambah dan memperluas industri perkayuan modernnya dengan alat-alat
canggih. Kalaupun ada keinginan memajukan kaumnya, ia selalu memakai bahasa-bahasa
yang sarkastis, seperti “primitif”, “terbelakang”, “tidak bisa diajak maju,”
serta istilah yang tidak dimengerti mereka.
“Ini menguntungkan kita, Ayah” (hal 131), katanya ketika ia memperkenalkan kayu sengon sebagai upaya mengganti ladang berpindah yang telah ratusan tahun menjadi ciri kehidupan ekonomi, ekologi yang dibalut oleh kosmogoni dan mitologi suku Dayak. Lain halnya Aruni, ia merepresentasikan seorang pendidik yang sabar untuk mentransformasikan adat-istiadat setempat.
Simaklah kata-kata Aruni yang cerdas-bernas-patriotik, “Saya putri penghulu. Saya sudah bertekad untuk mengabdi kepada suku Bukit dengan kemampuan saya yang terbatas ini. Demi kesejahteraan suku Bukit.” (hal 62).
Atau
dengan ungkapannya, “Saya mengakui bahwa perubahan pola hidup menuju yang lebih
baik tanpa meninggalkan kearifan itu perlu sekali. Sekali lagi, tanpa
menghilangkan kearifan. Maaf, sejauh yang saya tahu, dari pengetahuan saya yang
terbatas ini, masuknya industri perkayuan, perusahaan HPH, HTI, dan industri
penambangan di beberapa wilayah Kalimantan ini telah menghilangkan kearifan
adat. Juga terkikisnya tatanan kehidupan asli sebagai pedoman hidup sejak
ratusan tahun yang lalu.” (hal 137).
Aruni memang lebih bisa menyatu dengan lingkungannya, dan ia pun mendapat kehormatan yang tinggi sebagai calon balian, balianperempuan untuk pengobatan tradisional yang kelak akan bisa berhubungan dengan alam petilarahan, alam roh.
Sumber :
0 Response to "Resensi Buku Ngarto Februana"
Posting Komentar